Pencatatan Perkawinan
Bagaimana pencatatan perkawinan di Indonesia?
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 (dua) lembaga yang berbeda. Pencatatan perkawinan untuk masyarakat yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA Kecamatan) dan pencatatan perkawinan bagi masyarakat yang beragama selain Islam dan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan oleh Disdukcapil Kabupaten/Kota, UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota atau Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Sumber rujukan:
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. (link)
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (link)
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi yang beragama selain islam di Indonesia?
Persyaratan pencatatan perkawinan bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Pasal 37 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Pasal 50 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 serta Surat Dirjen Dukcapil Nomor 470/13287/Dukcapil tanggal 28 September 2021 berupa:
surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
pas foto berwarna suami dan istri;
KK;
KTP-el; dan
bagi janda atau duda karena cerai mati melampirkan akta kematian pasangannya; atau
bagi janda atau duda karena cerai hidup melampirkan akta perceraian; atau
bagi perkawinan berlangsung sebelum berusia 19 tahun dengan melampirkan salinan Penetapan Pengadilan tentang Dispensasi Perkawinan; atau
bagi perkawinan antar umat yang berbeda agama atau perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan dengan melampirkan salinan penetapan pengadilan; atau
bagi perkawinan yang salah satu atau kedua suami isteri meninggal dunia sebelum pencatatan perkawinan dengan melampirkan SPTJM Kebenaran Data sebagai pasangan suami istri dengan materai; atau
bagi suami melangsungkan perkawinan kedua dan seterusnya dengan melampirkan salinan penetapan pengadilan tentang izin perkawinan dari isteri sah; atau
bagi pasangan suami dan isteri yang dalam KK status “Cerai Hidup Belum Tercatat” dengan melampirkan SPTJM Perceraian belum tercatat;
bagi perkawinan orang asing dengan melampirkan Dokumen Perjalanan, surat keterangan tempat tinggal bagi pemegang izin tinggal terbatas, Kartu Keluarga dan KTP-el bagi pemegang izin tinggal tetap serta Izin dari negara atau perwakilan negaranya.
Catatan: Untuk pelayanan secara offline/tatap muka, persyaratan surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, salinan penetapan pengadilan yang diserahkan berupa fotokopi bukan asli (asli hanya diperlihatkan) dan untuk pelayanan online/Daring, persyaratan yang discan/difoto untuk diunggah harus aslinya.
Sedangkan tata cara pencatatan perkawinan bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52 Peraturan Menteri Dalam Negeri 108 Tahun 2019, sebagai berikut:
Pemohon mengisi dan menandatangani formulir pelaporan pencatatan sipil di dalam wilayah NKRI dengan kode F-2.01 serta menyerahkan persyaratan.
Petugas pelayanan melakukan verifikasi dan validasi terhadap formulir pelaporan dan persyaratan.
Petugas pada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota melakukan perekaman data dalam basis data kependudukan.
Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota mencatat dalam register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.
Kutipan akta perkawinan disampaikan kepada pemohon beserta dokumen kependudukan lainnya berupa KTP-el dengan status Kawin dan KK yang sudah dimutakhirkan datanya serta memusnahkan KTP-el asli yang lama.
Sumber rujukan:
Pasal 37 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. (link)
Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. (link)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 tentang Formulir dan Buku Yang Digunakan Dalam Administrasi Kependudukan. (link)
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 400.8.2-5484.Dukcapil Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil Nomor 470/13287/Dukcapil tanggal 28 September 2021 tentang Jenis Layanan, Persyaratan dan Penjelasan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan apabila dalam persyaratan pelaporanya ditemukan keraguan dalam keabsahan surat terjadinya perkawinan?
Pencatatan perkawinan dapat dilaksanakan apabila sudah memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018.
Berdasarkan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Pasal 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 yang intinya mengatur bahwa pencatatan perkawinan dilaksanakan dengan tahapan meliputi pelaporan, verifikasi dan validasi, perekaman data danpencatatan dan/atau penerbitan dokumen.
Apabila dari hasil verifikasi dan validasi terdapat keraguan terhadap keabsahan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka agama, maka pencatatan perkawinannya hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.
Surat rujukan:
Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. (link)
Pasal 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. (link)
Surat Dirjen Dukcapil Nomor 400.8.2.9/14010/Dukcapil tanggal 22 September 2023 tentang Pencatatan Perkawinan kpd Kadis Dukcapil Kab. Bogor.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan WNI atau WNI dengan orang asing yang beragama selain Islam di luar negeri?
Perkawinan WNI atau perkawinan WNI dengan Orang Asing di luar negeri dicatatkan pada Instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Apabila negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Persyaratan pelaporan pencatatan perkawinan WNI atau perkawinan WNI dengan Orang Asing yang telah dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat, dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia, berupa:
kutipan akta perkawinan/bukti pencatatan perkawinan dari negara setempat.
dokumen perjalanan Republik Indonesia dari suami dan istri, dan Dokumen Perjalanan bagi Orang Asing.
surat keterangan yang menunjukkan domisili atau surat keterangan pindah luar negeri. Catatan: Perwakilan RI tidak menarik kutipan akta perkawinan dari negara setempat asli atau dokumen perjalanan Republik Indonesia dari suami dan istri atau dokumen perjalanan bagi orang asing atau surat keterangan yang menunjukkan domisili atau surat keterangan pindah luar negeri berupa fotokopi, asli hanya diperlihatkan. WNI tidak perlu fotokopi KTP el 2 (dua) orang saksi karena identitasnya sudah tercantum dalam Formulir Pelaporan Pencatatan Sipil di Dalam Wilayah NKRI (F-2.02).
Tata cara pelaporan pencatatan perkawinan WNI dan perkawinan WNI dengan Orang Asing yang telah dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat di Perwakilan Republik Indonesia, sebagai berikut:
Pemohon mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Pencatatan Sipil di Luar Wilayah NKRI dengan kode F-2.02 serta menyerahkan persyaratan.
Pejabat pada Perwakilan RI melakukan verifikasi dan validasi terhadap formulir pelaporan dan persyaratan.
Petugas pada Perwakilan RI yang dapat mengakses basis data kependudukan melakukan perekaman data pelaporan ke dalam basis data kependudukan;
Perwakilan RI mencatat laporan dalam daftar pelaporan dan menerbitkan surat keterangan pelaporan;
Surat keterangan pelaporan diberikan kepada Pemohon.
Persyaratan pencatatan perkawinan WNI dan perkawinan dengan Orang Asing di luar negeri dalam hal negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, berupa:
surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Fotokopi surat keterangan terjadinya perkawinan di negara setempat.
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia suami dan istri atau Dokumen Perjalanan bagi orang asing.
surat keterangan yang menunjukkan domisili atau surat keterangan pindah luar negeri. Catatan: Perwakilan Republik Indonesia tidak menarik kutipan akta perkawinan dari negara setempat asli atau surat keterangan terjadinya perkawinan di negara setempat atau dokumen perjalanan Republik Indonesia atau dokumen perjalanan bagi Orang Asing atau surat keterangan yang menunjukkan domisili atau surat keterangan pindah luar negeri asli berupa fotokopi, asli hanya diperlihatkan, WNI tidak perlu fotokopi KTP-el 2 (dua) orang saksi karena identitasnya sudah tercantum dalam Formulir Pelaporan Pencatatan Sipil di Dalam Wilayah NKRI (F-2.02).
Tata cara pencatatan perkawinan WNI dan perkawinan WNI dengan Orang Asing di luar negeri dalam hal negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi orang asing sebagai berikut:
Pemohon mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Pencatatan Sipil di Luar Wilayah NKRI dengan kode F-2.02 serta menyerahkan persyaratan
Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia melakukan verifikasi dan validasi terhadap formulir pelaporan dan persyaratan.
Petugas pada Perwakilan Republik Indonesia yang dapat mengakses basis data kependudukan melakukan perekaman data pelaporan ke dalam basis data kependudukan.
Pejabat pencatatan sipil pada Perwakilan Republik Indonesia mencatat dalam register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.
Kutipan akta perkawinan disampaikan kepada Pemohon.
Surat rujukan:
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pasal 53, Pasal 54 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku Yang Digunakan dalam Administrasi Kependudukan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 400.8.2-5484.Dukcapil Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil yang ditujukan kepada Kepala Dinas Dukcapil di Seluruh Indonesia Nomor 470/13287/Dukcapil tanggal 28 September 2021 hal Jenis Layanan, Persyaratan dan Penjelasan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pelaporan pencatatan peristiwa penting di luar negeri setelah kembali ke Indonesia?
Peristiwa perkawinan WNI di luar negeri setelah kembali ke Indonesia dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota di tempat Penduduk berdomisli paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia, dengan memenuhi persyaratan berupa:
bukti pelaporan perkawinan dari Perwakilan RI; dan
kutipan akta perkawinan.
Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota merekam pelaporan dalam basis data kependudukan dan menerbitkan surat keterangan pelaporan. Dalam hal pencatatan peristiwa penting WNI di luar negeri yang telah dicatatkan pada instansi yang berwenang di Negara setempat belum dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia, maka penerbitan surat keterangan pelaporan dapat dilakukan pada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota.
Pelaporan hasil pencatatan peristiwa penting tersebut dengan persyaratan berupa bukti pencatatan peristiwa penting yang diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah atau surat pernyataan tanggung jawab mutlak.
Surat rujukan:
Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 39 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pasal 97 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku Yang Digunakan Dalam Administrasi Kependudukan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 400.8.2-5484.Dukcapil Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil yang ditujukan kepada Kepala Dinas Dukcapil di Seluruh Indonesia Nomor 470/13287/Dukcapil tanggal 28 September 2021 hal Jenis Layanan, Persyaratan dan Penjelasan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan campuran WNI dengan WNA?
Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) huruf g Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018, diatur bahwa izin dari negara atau perwakilan negaranya merupakan salah satu persyaratan dalam pencatatan perkawinan bagi orang asing di Indonesia. Izin tersebut diperlukan untuk memastikan bahwa orang asing dimaksud tidak terlarang untuk melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum negaranya dan hukum Indonesia jika salah satunya WNI.
Apabila salah satu calon pasangan perkawinan merupakan WNI, maka surat izin tersebut harus menyatakan bahwa WNA dimaksud tidak terikat perkawinan dengan orang lain, hal ini untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 dan Pasal 9 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974.
Surat rujukan:
Pasal 37 ayat (2) huruf g Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil Nomor 472.45/5593/DUKCAPIL tanggal 29 Juli 2019 kpd Kepala Disdukcapil Provinsi Sumatera Utara.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pelaporan pencatatan perkawinan WNI dengan WNA yang terjadi di luar negeri?
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 diatur bahwa Instansi Pelaksana melaksanakan urusan administrasi kependudukan dengan kewajiban yang meliputi antara lain mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting.
Sesuai Pasal 97 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 diatur bahwa dalam hal pencatatan peristiwa penting WNI di Luar Wilayah NKRI yang telah dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat belum dilaporkan kepada Perwakilan RI.
Penerbitan surat keterangan pelaporan dapat dilakukan pada Disdukcapil Kabupaten/Kota sesuai domisili, dengan memenuhi persyaratan bukti pencatatan peristiwa penting yang diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah atau surat pernyataan tanggung jawab mutlak.
Merujuk ketentuan di atas, maka permohonan pelaporan pencatatan perkawinan WNI dengan WNA yang terjadi di luar negeri berdasarkan Sertifikat Perkawinan dapat diterbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan dan dilakukan perubahan elemen data status perkawinan dari cerai hidup tercatat menjadi kawin tercatat.
Surat rujukan:
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 97 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/17257/Dukcapil Tanggal 10 Nov 2022 kpd Kepala Disdukcapil Kab. Trenggalek.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia?
Berdasarkan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Penjelasan yang diberikan dalam pasal ini menjelaskan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang melibatkan antar-umat yang berbeda agama.
Merujuk Pasal 7 ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Memperhatikan ketentuan di atas, maka permohonan pencatatan perkawinan antara individu yang berbeda agama, seperti perkawinan antara seseorang beragama Islam dengan agama Khatolik dengan bukti surat nikah gereja (testimonium matrimony), tidak dapat dilakukan, kecuali ada perintah berdasarkan penetapan pengadilan. Selanjutnya Disdukcapil Kabupaten/Kota hanya mencatatkan apa yang sudah menjadi penetapan pengadilan dan tidak dalam konteks mengesahkan perkawinan.
Surat rujukan:
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 7 ayat (2) huruf I Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/15608/Dukcapil tanggal 10 Oktober 2022 kpd Kadis Disdukcapil Kab. Magelang.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimanan pelaporan pencatatan perkawinan beda agama di luar negeri?
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 diatur bahwa perkawinan WNI di luar wilayah NKRI wajib dicatatkan pada Instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan RI. Pencatatan perkawinan dimaksud dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Selanjutnya sesuai Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 diatur bahwa setiap pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh WNI di luar wilayah NKRI wajib dilaporkan oleh WNI kepada Disdukcapil Kabupaten/Kota di tempat domisili setelah kembali ke Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut, Disdukcapil menerbitkan surat keterangan pelaporan.
Merujuk ketentuan di atas, maka permohonan pelaporan perkawinan beda agama dari luar negeri dapat diterbitkan surat keterangan pelaporan perkawinan sesuai ketentuan diatas.
Surat rujukan:
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil Nomor 472.2/16767/DUKCAPIL tanggal 1 November 2022 kpd Kepala Disdukcapil Prov DKI Jakarta.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan tanpa dihadiri salah satu pasangan suami/istri atau keduanya tidak dapat hadir?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975:
Pasal 6 ayat (2) huruf f juga mengatur bahwa jika salah satu calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena alasan penting, mereka dapat diwakilkan oleh orang lain dengan persyaratan Surat Kuasa Otentik yang disahkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil.
Pasal 11 ayat (1) diatur bahwa salah satu tata cara perkawinan adalah dengan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 12 huruf j mengatur bahwa Akta Perkawinan harus mencantumkan nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seseorang kuasa.
Merujuk Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018, dijelaskan persyaratan pencatatan perkawinan bagi WNI dan orang asing di wilayah NKRI.
Memperhatikan ketentuan di atas, maka pencatatan perkawinan dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan pencatatan perkawinan dan bagi mempelai laki-laki/perempuan atau keduanya tidak dapat hadir membuat Surat Kuasa Otentik.
Surat rujukan:
Pasal 6 ayat (2), Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 huruf j Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/12129/DUKCAPIL tanggal 2 Agusustus 2022 kpd Kadis Dukcapil Kab Pakpak Bharat.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Apakah diperbolehkan mengubah status perkawinan dalam KK dan KTP-el dari "kawin belum tercatat" menjadi "belum kawin" hanya dengan dasar keterangan yang bersangkutan, dan bagaimana proses perubahan status perkawinannya untuk pernikahan di KUA?
Berdasarkan:
Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013;
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019; dan
Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam.
Merujuk ketentuan diatas, maka:
Disdukcapil tidak diperbolehkan mengubah data dalam KK dan KTP-el dari "Kawin Belum Tercatat" menjadi "Belum Kawin" hanya dengan berdasarkan keterangan yang bersangkutan bahwa pernikahannya tidak resmi/belum dicatatkan secara negara.
Untuk melakukan perubahan status perkawinan yang bersangkutan agar dapat menikah di KUA Kecamatan, terdapat dua opsi yang dapat dilakukan:
jika terdapat penetapan/putusan perceraian dari Pengadilan Agama yang diajukan melalui proses Itsbat Nikah sebagai bagian dari penyelesaian perceraian, Disdukcapil dapat mengubah status perkawinan yang bersangkutan menjadi "Cerai Hidup Tercatat", atau
jika terdapat penetapan pengadilan yang menyatakan batal atau tidak sahnya perkawinan tersebut, Disdukcapil Kabupaten/Kota dapat mengembalikan status perkawinan yang bersangkutan ke status sebelumnya, atau mengesahkan perkawinan sebelumnya dan diikuti dengan penetapan tentang perceraian.
Surat rujukan:
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/9172/DUKCAPIL tgl 3 Juni 2022 kpd Kepala Disdukcapil Kab. Trenggalek.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana prosedur penerbitan akta perkawinan bagi pasangan di mana salah satu pasangan telah meninggal dunia?
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 diatur bahwa pencatatan perkawinan harus memenuhi persyaratan:
Fotokopi surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME;
Pas foto berwarna suami dan istri;
KK;
KTP-el asli dan;
Bagi janda atau duda karena cerai mati melampirkan fotokopi akta kematian pasangannya atau;
Bagi janda atau duda karena cerai hidup melampirkan fotokopi akta perceraian.
Merujuk Pasal 50 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 bahwa dalam hal salah satu atau kedua suami isteri meninggal dunia sebelum pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud, pencatatan perkawinan dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan berupa Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) Kebenaran Data sebagai pasangan suami.
Surat rujukan:
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pasal 50 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.11/16842/DUKCAPIL tanggal 8 Desember 2021 kpd Kadisdukcapil Kota Malang.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta pada saat perkawinan agama masih dibawah umur?
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, diatur bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Selanjutnya, Surat Panitera Mahkamah Agung RI Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 tanggal 30 Januari 2019 hal Mohon penjelasan sebagaimana telah dijelaskan dalam surat Dirjen Dukcapil Nomor 472.2/3315/DUKCAPIL tanggal 3 Mei 2019 hal penjelasan masalah pencatatan sipil.
Merujuk ketentuan di atas, apabila saat perkawinan agama masih dibawah umur dan hendak mencatatkan perkawinan setelah memenuhi syarat usia perkawinan mereka harus menikah ulang atau memperbaharui nikahnya (Tajdid Nikah) baru kemudian dicatat, atau dispensasi perkawinan ke pengadilan.
Surat rujukan:
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Surat Dirjen Dukcapil No. 471/5501/DUKCAPIL Tgl 24 Juli 2019 kpd Kadis Dukcapil Kota Tangerang.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan tanpa kehadiran salah satu pihak serta telah mempunyai penetapan pengadilan?
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur bahwa pencatatan perkawinan tanpa kehadiran salah satu pihak dapat dilakukan dengan adanya Surat Kuasa Otentik.
Pasal 7 ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Merujuk ketentuan tersebut, maka pencatatan perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dimaksud dapat dilaksanakan berdasarkan permohonan, walaupun salah satu pihak tidak hadir untuk menandatangani register akta perkawinan.
Maka berdasarkan penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap telah mengesahkan perkawinan tersebut, Disdukcapil Kabupaten/Kota agar melaksanakan penetapan pengadilan dimaksud.
Surat rujukan:
Pasal 6 ayat (2) huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/2056/DUKCAPIL tanggal 11 Februari 2020 kpd Kadis Dukcapil Kota Medan.
Surat Dirjen Dukcapil No. 400.8.2.9/51/DUKCAPIL tanggal 3 Januari 2024 kpd Kadis Dukcapil Kab. Bogor.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan WNI dengan WNA yang tidak bisa hadir dikarenakan terkendala jarak?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada:
Pasal 11 ayat (1) diatur bahwa salah satu tata cara perkawinan antara lain kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Pasal 6 ayat (2) huruf h diatur bahwa apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena alasan sesuatu yang penting sehingga mewakilkan kepada orang lain, pegawai pencatat meneliti Surat Kuasa Otentik yang disahkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil.
Pasal 12 huruf j diatur bahwa akta perkawinan memuat antara lain: Nama, Umur, Agama/Kepercayaan, Pekerjaan dan Tempat Kediaman Kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang Kuasa.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018:
Pasal 37 ayat (1) diatur bahwa pencatatan perkawinan Penduduk WNI di Wilayah NKRI harus memenuhi persyaratan:
surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME;
pas foto berwarna suami dan istri;
KK;
KTP-el; dan
bagi janda atau duda karena cerai mati melampirkan akta kematian pasangannya;
bagi janda atau duda karena cerai hidup melampirkan akta perceraian.
Pasal 37 ayat (2) diatur bahwa pencatatan perkawinan Orang Asing di Wilayah NKRI harus memenuhi persyaratan:
surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME;
pas foto berwarna suami dan istri;
Dokumen Perjalanan;
surat keterangan tempat tinggal bagi pemegang izin tinggal terbatas;
KK dan KTP-el bagi pemegang izin tinggal tetap; dan
izin dari negara atau perwakilan negaranya.
Merujuk ketentuan di atas, maka pencatatan perkawinan dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan pencatatan perkawinan dan bagi mempelai laki-laki/wanita yang tidak dapat hadir membuat Surat Kuasa Otentik.
Surat rujukan:
Surat Dirjen Dukcapil Nomor 472.2/6931/Dukcapil tgl 6 Juli 2020 kpd Dirjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana jika perkawinan pertama tidak pernah dicatatkan ke Disdukcapil Kabupaten/Kota, sementara warga tersebut ingin menikah lagi dan mencatatkan perkawinan keduanya di Disdukcapil? Dapatkah perkawinan keduanya diproses tanpa akta perceraian, terutama jika permohonan cerai mereka ditolak oleh Pengadilan karena tidak adanya akta perkawinan?
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018:
Pasal 79 ayat (2) mengatur bahwa "Penerbitan Kartu Keluarga karena perubahan data untuk perceraian yang belum dicatatkan sebelum Peraturan Presiden ini berlaku tetapi status hubungan dalam Kartu Keluarga menunjukkan sebagai suami isteri dilaksanakan dengan persyaratan surat pernyataan tanggung jawab mutlak kebenaran data perceraian yang ditandatangani kedua belah pihak dengan diketahui oleh 2 (dua) orang saksi".
Pasal 79 Ayat (2) mengatur bahwa dapat dilakukan perubahan status kawin pada Kartu Keluarga, yang semula status "kawin belum tercatat" menjadi status "cerai hidup belum tercatat", dengan syarat kedua belah pihak menandatangani SPTJM Perceraian di atas materai dengan diketahui oleh 2 (dua) orang saksi. Perubahan status dalam Kartu Keluarga ini akan merubah status dalam KTPel yang bersangkutan menjadi "cerai".
Merujuk ketentuan di atas, apabila masingmasing pihak ingin mencatatkan perkawinan barunya, Disdukcapil Kabupaten/Kota dapat memproses permohonan tersebut dengan mendasarkan pada SPTJM Perceraian yang telah dibuat oleh yang bersangkutan, dengan disertai persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Surat rujukan:
Pasal 79 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/7153/Dukcapil Tgl 23 Sept 2019 kpd Kepala Disdukcapil Kab. Lombok Barat.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencantuman tanggal perkawinan pada Kartu Keluarga dan implikasi hukum pada status anak dari hasil perkawinan dengan status “kawin belum tercatat”?
Berdasarkan Lampiran petunjuk teknis pengisian Formulir Biodata Keluarga (F-1.01) dan Formulir Pelaporan Pencatatan Sipil di dalam Wilayah NKRI (F-2.01) Permendagri Nomor 109 Tahun 2019, bahwa tanggal perkawinan diisi sesuai dengan tanggal pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaannya, sebagaimana tertera pada Akta Perkawinan atau pada SPTJM Perkawinan/Perceraian Belum Tercatat. Tanggal Perkawinan diisi dengan tanggal pemberkatan perkawinan.
Bagi perkawinan secara Islam ditulis tanggal terjadinya akad nikah, sedangkan bagi perkawinan non-Islam ditulis tanggal terjadinya pemberkatan/perkawinan sah dihadapan Pemuka Agama/Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.
Implikasi/akibat hukum pada status anak dari hasil perkawinan dengan status kawin belum tercatat, adalah:
Status anak sebagai anak seorang ibu, atau
Status anak dengan mencantumkan nama ayah dan ibu namu ada frasa “yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Surat rujukan:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku Yang Digunakan Dalam Administrasi Kependudukan.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencantuman Pas Foto dalam Register Akta Perkawinan?
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 diatur bahwa pemohon layanan pencatatan perkawinan melengkapi persyaratan Pas Foto berwarna suami istri. Pas foto berwarna suami istri dicantumkan dalam Register Akta Perkawinan sebagai berikut:
Pas foto terbaru berwarna suami istri dicantumkan di bawah tanda tangan istri (bawah Tengah);
Pas foto berwarna suami istri berdampingan dengan posisi istri sebelah kiri dan suami sebelah kanan;
Ukuran pas foto berwarna suami istri ukuran 6 x 4 cm;
Warna latar belakang pas foto suami istri bebas.
Surat rujukan:
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil No. 472.2/8501/Dukcapil Tgl 19 Agustus 2020 kpd Kepala Disdukcapil Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan yang keabsahan surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama yang telah diberhentikan oleh organisasinya?
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018, yang intinya mengatur bahwa Pencatatan Perkawinan dapat dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan:
surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME;
pas foto berwarna suami dan istri;
KK;
KTP-el; dan
bagi janda atau duda karena cerai mati melampirkan akta kematian pasangannya; atau
bagi janda atau duda karena cerai hidup melampirkan akta perceraian.
Merujuk Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Pasal 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019, yang intinya mengatur bahwa pencatatan perkawinan dilaksanakan dengan tahapan yaitu:
Pelaporan;
verifikasi dan validasi;
perekaman data; dan
pencatatan dan/atau penerbitan dokumen.
Memperhatikan ketentuan di atas, apabila dari hasil verifikasi dan validasi terdapat keraguan terhadap keabsahan surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama, maka pencatatan perkawinannya hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.
Surat rujukan:
Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 63 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pasal 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil No. 400.8.2.9/14010/Dukcapil Tgl 22 september 2023 kpd Kepala Disdukcapil Kab. Bogor.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019:
a. Pasal 39, ayat:
Perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Organisasi dan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Catatan: Kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
b. Pasal 40, ayat:
Pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dilakukan di Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dilakukan perkawinan dihadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota memberikan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri;
Pasangan suami istri mengisi formulir pencatatan perkawinan dan menyerahkannya kepada Pejabat Pencatatan Sipil dengan menunjukkan KTP-el untuk dilakukan pembacaan menggunakan perangkat pembaca KTP-el dan melampirkan dokumen:
pasangan suami istri mengisi formulir pencatatan perkawinan dan menyerahkannya kepada pejabat Pencatatan Sipil dengan menunjukkan KTP-el untuk dilakukan pembacaan menggunakan perangkat pembaca KTP-el dan melampirkan dokumen;
pas foto suami dan istri;
akta kelahiran; dan
dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing.
Pejabat Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan dan dokumen yang dilampirkan;
berdasarkan kelengkapan dan kesesuaian data hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud huruf c, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan; dan
kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf d diberikan masingmasing kepada suami dan istri.
Surat rujukan:
Pasal 39 dan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Apakah pengumuman perkawinan bagi yang baru mau menikah, perlu dilakukan sebelum pencatatan perkawinan?
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ayat:
setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Sumber rujukan:
Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Apakah pencatatan perkawinan dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan yang salah satu pasangan suami istri tidak dapat hadir?
Berdasarkan:
Pasal 102 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, diatur bahwa semua kalimat “wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus dimaknai “wajib dilaporkan oleh Penduduk di Instansi Pelaksana tempat Penduduk berdomisili”.
Pasal 7 ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Merujuk ketentuan di atas, maka pencatatan perkawinan tersebut dapat dilakukan berdasarkan permohonan salah satu pasangan suami istri di Disdukcapil, karena sudah ada penetapan dari Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sumber rujukan:
Pasal 102 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 7 ayat (2) huruf I Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Surat Dirjen Dukcapil No. 400.8.2.7/6023/Dukcapil tgl 28 Maret 2023 kpd Kepala Disdukcapil Kota Medan.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana perkawinan pada usia anak dibawah 19 (sembilan belas) tahun?
Perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.
Berdasarkan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUUXV 12017 mengenai perubahan atas ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018, Persyaratan pencatatan perkawinan WNI dalam wilayah NKRI:
Fotokopi surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
pas foto berwarna suami dan istri;
KTP-el Asli;
KK Asli;
bagi janda atau duda karena cerai mati melampirkan fotokopi akta kematian pasangannya; atau
bagi janda atau duda karena cerai hidup melampirkan fotokopi akta perceraian.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 mengamanatkan:
Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Alternatif solusi pencatatan perkawinan bagi perkawinan belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun:
Dispensasi perkawinan dari pengadilan;
Menunggu sampai umur lebih dari 19 tahun untuk perkawinan kembali. Apabila dilakukan perkawinan kembali, maka konsekwensinya bagi anak-anaknya yang lahir sebelum perkawinan sah secara hukum Negara harus dilakukan pengesahan anak melalui pengadilan terkait dengan asal usul anak.
pengesahan perkawinan melalui pengadilan sekaligus pengesahan anaknya
Sumber rujukan:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Surat Dirjen Dukcapil yang ditujukan kepada Kepala Dinas Dukcapil di Seluruh Indonesia Nomor 470/13287/Dukcapil tanggal 28 September 2021 hal Jenis Layanan, Persyaratan dan Penjelasan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencantuman Status “Kawin Belum Tercatat” dalam Kartu Keluarga, khususnya bagi perkawinan belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun?
Berdasarkan Surat Dirjen Dukcapil Nomor 472.2/15145/DUKCAPIL tanggal 4 Nopember 2022, pada angka 3 disebutkan bahwa pemberlakuan SPTJM Perkawinan Belum Tercatat (F-1.05) tidak diperuntukkan untuk perkawinan dibawah umur (belum berusia 19 tahun).
Hasil rapat antar Kementerian/Lembaga tentang Pembahasan Pasangan Menikah Yang Belum Memiliki Akta Kawin/Buku Nikah yang diselenggarakan pada tanggal 1 November 2021 di Hotel Bidakara Jakarta.
Akibat hukum pemberlakuan SPTJM Perkawinan belum Tercatat (F-1.05) tidak diperuntukan untuk perkawinan dibawah umur (belum berusia 19 tahun):
Status perkawinan pada Biodata, KK dan KTP-el tercantum belum kawin.
Status hukum pada akta kelahiran anaknya tercantum sebagai anak seorang ibu, karena orang tua tidak ada perkawinan (tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan), dimana pada KK tidak menunjukkan hubungan pasangan suami istri (pada kolom ke 17 hanya tercantum nama ibunya saja).
Alternatif solusi pencatatan perkawinan bagi perkawinan belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun antara lain:
Dispensasi perkawinan dari pengadilan;
Menunggu sampai umur lebih dari 19 tahun untuk perkawinan kembali. Apabila dilakukan perkawinan kembali, maka konsekwensinya bagi anak-anaknya yang lahir sebelum perkawinan sah secara hukum Negara harus dilakukan pengesahan anak melalui pengadilan terkait dengan asal usul anak.
pengesahan perkawinan melalui pengadilansekaligus pengesahan anaknya.
Sumber rujukan:
Surat Dirjen Dukcapil yang ditujukan kepada Kepala Dinas Dukcapil di Seluruh Indonesia Nomor 472.2/15145/DUKCAPIL tanggal 4 Nopember 2022 hal Petunjuk Pencatuman Status Kawin Belum Tercatat dalam Kartu Keluarga.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Kenapa dalam Kartu Keluarga bisa tercantum status “Kawin Tidak Tercatat’ padahal ada akta kawin/buku nikah dan akta lahir anak disebutkan anak dari pasutri tersebut?
Jika sudah memiliki akta perkawinan/buku nikah maka status perkawinan pada Kartu Keluarga tercantum “Kawin Tercatat”, dan jika tidak memiliki akta perkawinan/buku nikah namun sudah berkeluarga dapat mengisi SPTJM Perkawinan belum tercatat sehingga status perkawinan dalam Kartu Keluarga menjadi “Kawin Belum Tercatat”, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 yang mengatur bahwa Penerbitan Kartu Keluarga Baru karena membentuk keluarga baru dilengkapi dengan syarat lainnya berupa surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 48 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 terkait dengan status hukum pada akta kelahiran, sebagai berikut:
Status sebagai anak dari pasutri, jika memenuhi persyaratan antara lain buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah;
Status sebagai anak seorang ibu, jika tidak dapat memenuhi persyaratan berupa: buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah dan status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga tidak menunjukan status hubungan perkawinan sebagai suami istri;
Status sebagai anak pasutri dengan tambahan frasa “perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, jika tidak dapat memenuhi persyaratan berupa: buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah; dan status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga menunjukan status hubungan perkawinan sebagai suami istri;
Status tanpa nama orangtua, bagi anak yang baru lahir atau baru ditemukan dan tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orangtuanya.
Sumber rujukan:
Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 48 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Di Kartu Keluarga bagi yang Nikah Siri ada keterangan tertulis sesuai ketentuan bisa di catatkan dalam administrasi kependudukan sebagai “Kawin Tidak Tercatat”. Permasalahannya ketika mau mengajukan isbat nikah Pengadilan Agama dan KUA mengembalikan warga untuk merubah administrasi kependudukan menjadi “Kawin Belum Tercatat”, bagaimana solusinya?
Berdasarkan surat Dirjen Dukcapil Nomor 472.2/15145/DUKCAPIL tanggal 4 Nopember 2021 pada angka 4 disebutkan bahwa Data penduduk dengan status kawin belum tercatat dalam database kependudukan menjadi dasar bagi masing-masing daerah untuk memprogramkan isbat nikah/pengesahan perkawinan dan pencatatan perkawinan massal.
Status kawin belum tercatat pada Kartu Keluarga belum dapat dijadikan persyaratan dalam pencatatan pernikahan di KUA Kecamatan dengan pertimbangan bahwa KUA Kecamatan mencatatkan perkawinan diperuntukan bagi pasangan yang belum menikah (Status belum kawin pada KK), bagi pasangan cerai mati (akta kematian), bagi pasangan cerai hidup (akta cerai), bagi suami yang beristeri lebih dari satu (dispensasi ijin pengadilan), sedangkan bila terjadi kawin siri (dalam KK status kawin belum tercatat) menjadi kewenangan pengadilan agama melalui isbat nikah.
Sumber rujukan:
Surat Dirjen Dukcapil yang ditujukan kepada Kepala Dinas Dukcapil di Seluruh Indonesia Nomor 472.2/15145/DUKCAPIL tanggal 4 Nopember 2022 hal Petunjuk Pencatuman Status Kawin Belum Tercatat dalam Kartu Keluarga.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana status perkawinan penduduk yang melakukan pindah agama?
Terkait dengan status perkawinan penduduk yang melakukan pindah agama, merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 6, Pasal 12 dan Pasal 22 bahwa perpindahan agama bagi pasangan yang sudah menikah tidak membatalkan perkawinan yang telah dilakukan sebelumnya.
Sumber rujukan:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Bagaimana pencatatan perkawinan tanpa dilengkapi persyaratan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka agama?
Berdasarkan:
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diatur bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Pasal 7 ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. maka permohonan pencatatan perkawinan tanpa dilengkapi surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka agama, dapat dilakukan sesuai perintah penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sumber rujukan:
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 7 ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Surat Dirjen Dukcapil Nomor 400.8.2.7/12163/DUKCAPIL tanggal 18 Agustus 2023 kpd Kepala Dinas Dukcapil Kota Medan.
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Apakah perkawinan beda agama yang akta perkawinannya diterbitkan sudah lama (di kecamatan) bisa dicatatkan sebagai kawin tercatat pada KK terbaru, jika yang bersangkutan memiliki KK terbitan 2010 dengan beda agama suami dan istri?
Boleh. Perkawinan beda agama yang telah memiliki akta perkawinan meskipun diterbitkan sudah lama (di kecamatan) dapat dicatatkan sebagai kawin tercatat pada Kartu Keluarga (KK) terbaru. Meskipun dalam KK terbitan 2010 suami dan istri tercatat dengan beda agama, pencatatan pada KK terbaru bisa dilakukan.
Sumber rujukan:
Rapat Koordinasi Nasional Kependudukan dan Pencatatan Sipil Tahun 2024, Batam, 27 s.d. 29 Februari 2024
Dibuat: 23 Juni 2025 10:00 WIB | Perubahan terakhir: 23 Juni 2025 10:00 WIB
Last updated